Pulangmu selalu kutunggu meski detik terasa lambat tanpa khabar
Pagi di desa kecil tempat tinggal kami selalu datang dengan sunyi yang menenangkan. Burung-burung saling bersahutan di pepohonan, kabut tipis menyelimuti atap rumah, dan aroma kopi hitam selalu menjadi tanda bahwa hari baru telah dimulai. Aku berdiri di dapur, menuangkan air panas ke teko kaca, sambil sesekali melirik jam dinding yang terasa bergerak lambat sejak Satrio berangkat tugas dua minggu lalu.
Namaku Sinta. Aku seorang guru SD. Aku juga seorang istri, dan seorang ibu. Dan pagi ini, aku hanyalah seorang perempuan yang sedang merindukan suaminya.
"Bu, Hero mau susu," suara kecil putraku membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh dan tersenyum melihat Hero yang masih memakai piyama dengan gambar dinosaurus, rambutnya acak-acakan.
"Iya, Nak. Sini, duduk dulu. Ibu bikinkan," ujarku lembut, mengusap kepalanya yang hangat.
Hero duduk di kursi rotan dekat jendela, tempat favorit ayahnya membaca koran setiap pagi. Aku menuangkan susu ke dalam cangkir kecil bergambar robot kesukaannya.
"Bu," katanya tiba-tiba sambil menatap kosong ke luar jendela, "Ayah pulangnya kapan?"
Aku berhenti sejenak. Pertanyaan itu sudah menjadi bagian dari rutinitas pagi kami sejak Satrio pergi.
"Sebentar lagi, Sayang. Mungkin minggu depan," jawabku, meskipun aku sendiri tidak tahu pasti. Terkadang dinas bisa selesai dalam sepekan, terkadang bisa sampai sebulan.
"Hero rindu Ayah."
Aku mendekatinya, duduk dan memeluknya dari belakang. "Ibu juga, Nak. Tapi Ayah bekerja untuk melindungi banyak orang. Kita harus sabar, ya."
Hero mengangguk pelan. Dalam diam, aku mengelus punggungnya. Dalam hatiku, aku mencoba menenangkan diri dari rasa khawatir yang perlahan menyelinap. Sejak semalam, pesan dari Satrio belum masuk. Biasanya ia akan mengirim pesan meski hanya satu kalimat: “Aku baik, tunggu aku ya.”
Hari itu, setelah mengantar Hero ke sekolah dan menyelesaikan jam mengajarku, aku menyempatkan diri duduk di taman sekolah yang sunyi. Di sinilah aku dan Satrio sering berbicara lewat video call saat jam istirahat.
Aku mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Foto Satrio bersama Hero saat ulang tahun terakhirnya membuatku tersenyum, lalu diam-diam menitikkan air mata. Aku menelusuri pesan-pesan terakhir kami.
Satrio: “Kamu hebat. Jagain rumah, Hero, dan diri kamu ya.”
Sinta: “Aku kuat karena kamu kuat. Hati-hati di sana.”
Satrio: “Selalu. Aku pulang, selalu untuk kamu.”
Kutinggalkan layar itu menyala, seolah bisa membuatnya hadir walau hanya di ujung jari.
Malam harinya, setelah menidurkan Hero, aku duduk di ruang tamu sambil menjahit kancing seragam sekolahnya yang copot. Rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Lampu temaram memberi suasana yang nyaman, tapi juga sendu. Aku memutar radio kecil yang biasa dipakai Satrio saat malam patroli di posnya. Lagu lawas pun mengalun lembut.
Tiba-tiba, ponselku bergetar.
Panggilan masuk dari Satrio
“Assalamualaikum, Sayang.” Suaranya terdengar serak, tapi hangat. Hatiku langsung luluh.
“Waalaikumsalam... Mas! Kamu ke mana saja? Aku nunggu kabar dari tadi malam,” ucapku, agak panik.
“Maaf ya... jaringan rusak di pos. Baru bisa dapat sinyal sekarang. Kamu dan Hero sehat?”
“Kami sehat, cuma... rindu,” ujarku pelan.
Hening sejenak di antara kami. Lalu suara napasnya terdengar.
“Aku juga rindu. Rasanya pengen peluk kamu dan Hero sekarang juga. Besok aku coba minta izin dua hari buat pulang cepat.”
“Beneran? Kamu gak bohong?” suaraku mulai naik, antara senang dan harap-harap cemas.
“Iya, janji. Aku gak tahan juga lama-lama di sini. Hati aku tertinggal di rumah.”
Aku tertawa kecil. Kalimat itu sering ia ucapkan saat kami baru menikah. Ternyata masih sama manisnya.
“Mas...”
“Hmm?”
“Jangan berubah, ya.”
“Untuk berubah dari mencintaimu? Tidak akan pernah.”
Malam itu aku tidur dengan senyum di wajah. Aku pikir, jika setiap kerinduan bisa dilunasi dengan panggilan seperti itu, maka menunggu pun menjadi hal yang paling indah di dunia. Aku tak tahu, bahwa hari-hari selanjutnya akan membawa badai dari arah yang paling tak pernah kuduga.
Komentar
Posting Komentar